Pendidikan selalu menjadi isu yang menarik untuk dikaji, selama masih ada kehidupan manusia di bumi ini. Semua bangsa di dunia pasti berkepentingan dengan pendidikan, sebab dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan budayanya dan mewariskannya kepada generasi penerus mereka, sehingga pendidikan sering disebut juga sebagai agent of culture.
Karena dengan pendidikan, manusia dapat menentukan sikap dan perilaku serta langkah ke depan yang harus diambil. Perubahan yang dialami melalui proses pendidikan senantiasa beraturan dan terukur, bukan atas emosi dan ketergesa-gesaan yang dialami oleh manusia.[1]
Filsafat bersifat preskriptif artinya filsafat pendidikan mengkhususkan tujuan-tujuannya, yaitu bahwa pendidikan seharusnya mengikuti tujuan-tujuan itu dan cara-cara yang umum harus digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Filsafat pendidikan bersifat analitik tatkala filsafat pendidikan berupaya menjelaskan pernyataan-pernyataan spekulatif dan preskriptif, menguji rasionalitas ide-ide pendidikan, baik konsistensinya dengan ide-ide yang lain maupun cara-cara yang berkaitan dengan adanya distorsi pemikiran. Konsep-konsep pendidikan diuji secara kritis demikian pula dikaji juga apakah konsep-konsep tersebut memadai ataukah tidak ketika berhadapan dengan fakta yang sebenarnya.
Filsafat pendidikan berusaha menjelaskan banyak makna yang berbeda yang berhubungan dengan istilah-istilah yang banyak digunakan dalam lapangan pendidikan seperti kebebasan, penyesuaian, pertumbuhan, pengalaman, kebutuhan, dan pengetahuan. Penjernihan istilah-istilah akan sampai pada hal-hal yang bersifat hakiki, maka kajian filsafat tentang pendidikan akan ditelaah oleh cabang filsafat yang bernama metafisika atau ontologi. Ontologi menjadi salah satu landasan dalam filsafat pendidikan. Selain itu, kajian pendidikan secara filsafati memerlukan pula landasan epistemologis dan landasan aksiologis.[2]
Secara eksistensial, persoalan pendidikan dan manusia bagaikan hubungan antara jiwa dan raga manusia. Jika jiwa berpotensi menggerakan raga manusia, maka kehidupan manusia pun digerakan oleh pendidikan ke arah pencapaian tujuan akhir.[3]
Filsafat itu merupakan teori umum dari pendidikan, atau filsafat merupakan landasan dari semua pemikiran mengenai pendidikan. Persoalan manusia yang berkaitan dengan bidang pendidikan itu sendiri sebenarnya masih merupakan suatu hamparan yang sangat luas. Apalagi pada era transformasi glabalisasi pada dekade terakhir ini, persoalan pendidikan semakin kompleks dan rumit.
Berdasarkan ruang lingkup kajian sebagaimana dikemukakan pada pendahuluan di atas, maka makalah ini akan dilakukan dengan menggunakan metode kajian pustaka, tinjauan filsafat pendidikan pada makalah ini difokuskan pada pembahasan aspek-aspek epistomologi filsafat pendidikan pada kajian ilmu pengetahuan.
Pembahasan
Pengertian Epistomologi
Epistemologi dari bahasa yunani episteme (pengetahuan) dan Logos (ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, karakter dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang Filsafat,[4] misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungan dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistemologi atau teori pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indra dengan berbagai metode, diantaranya : metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.[5]
Epistimologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode dan kesahihan pengetahuan. Jadi, objek material epistimologi adalah pengetahuan, sedangkan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan itu.
Pengertian Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Secara linguistik kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata “Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau alasan.
Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of know ledge. Istilah epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminology epistemology adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan. Masalah utama dari epistemologi adalah bagaimana cara memperoleh pengetahuan, Sebenarnya seseorang baru dapat dikatakan berpengetahuan apabila telah sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan epistemolog iartiny apertanyaan epistemologi dapat menggambarkan manusia mencintai pengetahuan.
Hal ini menyebabkan eksistensi epistemologi sangat urgen untuk menggambar manusia berpengetahuan yaitu dengan jalan menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah yang dipertanyakan dalam epistemologi. Makna pengetahuan dalam epistemologi adalah nilai tahu manusia tentang sesuatu sehingga ia dapat membedakan antara satu ilmu dengan ilmu yang lainnya.[6]
Epistemologi adalah cara bagaimana mendapatkan pengetahuan, sumber-sumber pengetahuan, ruang lingkup pengetahuan. Manusia dengan latar belakang, kebutuhan- kebutuhan, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolak ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya. Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya.[7]
Objek dan tujuan Epistemologi.
Kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati secara cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran sedangkan tujuan hamper sama dengan harapan. Meskipun berbeda, tetapi antara objek dan tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang mengantarkan tercapainya tujuan.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemology atau teori pengetahuan yang untuk pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemology ini menurut Jujun S. Suria sumantri berupa“ segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperolehn pengetahuan inilah yang mejadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap perantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali..
Jacques Martain mengatakan, “ tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.”hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendati pun keadaan ini tak bisa dihindari akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah hal lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika pengetuhuan.Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai kita puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikappasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis.[8]
Landasan Epistemologi.
Landasan epistemology ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yang dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang di dapatkan lewat metode ilmiah.Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yakni tercantum dalam metode ilmiah.[9]
Aspek-aspek epistomologi
Aspek estimologi merupakan logika yang membahas tentang pengetahuan filsafat. Aspek ini membahas bagaimana cara kita mencari pengetahuan dan seperti apa pengetahuan tersebut. Dalam aspek epistemologi ini terdapat beberapa logika, yaitu: analogi, silogisme, premis mayor, dan premis minor.
- Analogi dalam ilmu bahasa adalah persaaman antar bentuk yang menjadi dasar terjadinya bentuk – bentuk yang lain.
Analogi adalah suatu proses penalaran dalam pembelajaran dengan cara membandingkan sifat esensial yang mempunyai kesamaan atau persamaan. Dengan kata lain, “analogi” adalah cara penarikan dengan membandingkan dua hal yang mempunyai sifat yang sama. Berpikir analogis sangat penting dalam pembelajaran, karena hal itu akan mempertajam daya nalar peserta didik.
Analogi terdiri atas dua jenis, yaitu analogi induktif; disusun berdasarkan persamaan yang ada pada dua fenomena atau gejala. Analogi induktif adalah suatu cara berpikir yang didasarkan pada persamaan yang nyata dan terbukti. Jika memiliki suatu kesamaan dari yang penting, maka atas dasar persamaan dua gejala atau fenomena itu ditarik simpulan bahwa apa yang ada pada fenomena atau gejala pertama terjadi juga pada fenomena atau gejala kedua. Analogi induktif merupakan suatu “metode menalar” yang sangat bermanfaat untuk membuat suatu simpulan yang dapat diterima berdasarkan pada persamaan yang terbukti terdapat pada dua fenomena atau gelaja khusus yang diperbandingkan.
Maka dapat disimpulkan serupa dalam beberapa karakteristik lainnya. Apabila hanya terdapat persamaan kebetulan dan perbandingan untuk sekedar penjelasan, maka kita tidak dapat membuat suatu kesimpulan.
Analogi memiliki 4 fungsi berikut: membandingkan beberapa orang yang memiliki sifat kesamaan, meramalkan kesamaan, menyingkapkan kekeliruan, klasifikasi.
Analogi deklaratif merupakan suatu “metode menalar” untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu fenomena atau gejala yang belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal. Analogi deklaratif ini sangat bermanfaat karena ide-ide baru, fenomena, atau gejala menjadi dikenal atau dapat diterima apabila dihubungkan dengan hal-hal yang sudah diketahui secara nyata dan dipercaya.[10]
- Silogisme adalah penarikan kesimpilan konklusi secara deduktif tidak langsung, yang konklusinya ditarik dari premis yang di sediakan sekaligus.
Silogisme adalah setiap penyimpulan, di mana dari dua keputusan (premis-premis) disimpulkan suatu keputusan yang baru (kesimpulan). Keputusan yang baru itu berhubungan erat sekali dengan premispremisnya. Keeratannya terletak dalam hal ini: Jika premis-premisnya benar, dengan sendirinya atau tidak dapat tidak kesimpulannya benar. Ada dua macam silogisme, yaitu silogisme kategoris dan silogisme hipotesis.
Silogisme kategoris adalah silogisme yang premis-premis dan kesimpulannya berupa keputusan kategoris. Silogisme ini dapat dibedakan menjadi: – Silogisme kategoris tunggal, karena terdiri atas dua premis; – Silogisme kategoris tersusun, karena terdiri atas lebih dari dua premis;
Silogisme hipotetis, adalah silogisme yang terdiri atas satu premis atau lebih yang berupa keputusan hipotetis. Silogisme ini juga dapat dibedakan menjadi: – Silogisme hipotetis kondisional, yang ditandai dengan ungkapan-ungkapan: ‘jika… (maka)…; – Silogisme hipotetis disyungtif, yang ditandai dengan ungkapan:…., atau ….; – Silogisme hipotetis konyungtif, yang ditandai dengan ungkapan: tidak sekaligus… dan …
- Premis mayor bersifat umum yang berisi tentang pengetahuan, kebenaran, dan kepastian.
- Premis Minor bersifat spesifik yang berisi sebuah struktur berpikir dan dalil – dalilnya.
Aliran-aliran dalam epistemologis:
- Rasionalisme
Aliran ini berpendapat semua pengetahuan bersumber dari akal pikiran atau rasio. Tokohnya antara lain Rene Descartes (1596-1650), yang membedakan adanya tiga ide, yaitu innate ideas (ide bawaan), sejak manusia lahir atau juga dikenal dengan adventitinous ideas, yaitu ide yang berasal dari luar manusia, dan faktitinousideas, atau ide yang dihasilkan oleh pikiran itu sendiri. Tokoh lain yaitu Spinoza (1632-1677), Leibniz (1666-1716).
- Empirisme
Aliran ini berpendirian bahwa semua pengetahuan manusia diperoleh melalui pengalaman indra. Indra memperoleh pengalaman (kesan-kesan) dari alam empiris, selanjutnya kesan-kesan tersebut terkumpul dalam diri manusia menjadi pengalaman. Tokohnya antara lain:
- John Locke (1632-1704), berpendapat bahwa pengalaman dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) pengalaman luar (sensation), yaitu pengalaman yang diperoleh dari luar dan (2) pengalaman dalam, batin (reflexion). Kedua pengalaman tersebut merupakan idea yang sederhana yang kemudian dengan proses asosiasi membentuk idea yang lebih kompleks.
- David Hume (1711-1776), yang meneruskan tradisi empirisme. Hume berpendapat bahwa ide yang sederhana adalah salinan (copy) dari sensasi-sensasi sederhana atau ide-ide sederhana atau kesan-kesan yang kompleks. Aliran ini kemudian berkembang dan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan terutama pada abad 19 dan 20.
- Realisme
Realisme merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan bahwa objek-objek yang kita serap lewat indra adalah nyata dalam diri objek tersebut. Objek-objek tersebut tidak bergantung pada subjek yang mengetahui atau dengan kata lain tidak bergantung pada pikiran subjek. Pikiran dan dunia luar saling berinteraksi, tetapi interaksi tersebut memengaruhi sifat dasar dunia tersebut. Dunia telah ada sebelum pikiran menyadari serta akan tetap ada setelah pikiran berhenti menyadari. Tokoh aliran ini antara lain Aristoteles (384-322 SM), menurut Aristoteles, realitas berada dalam benda-benda konkret atau dalam proses-proses perkembangannya. Bentuk (form) atau ide atau prinsip keteraturan dan materi tidak dapat dipisahkan. Kemudian, aliran ini terus berkembang menjadi aliran realisme baru dengan tokoh George Edward Moore, Bertrand Russell, sebagai reaksi terhadap aliran idealisme, subjektivisme, dan absolutisme. Menurut realisme baru: eksistensi objek tidak bergantung pada diketahuinya objek tersebut.
- Kritisisme
Kritisisme menyatakan bahwa akal menerima bahan-bahan pengetahuan dari empiri (yang meliputi indra dan pengalaman). Kemudian akal akan menempatkan, mengatur, dan menertibkan dalam bentuk-bentuk pengamatan yakni ruang dan waktu. Pengamatan merupakan permulaan pengetahuan sedangkan pengolahan akal merupakan pembentukannya. Tokoh aliran ini adalah Immanuel Kant (1724-1804). Kant mensintesiskan antara rasionalisme dan empirisme.
- Positivisme
Tokoh aliran ini di antaranya August Comte, yang memiliki pandangan sejarah perkembangan pemikiran umat manusia dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap, yaitu:
- Tahap Theologis, yaitu manusia masih percaya pengetahuan atau pengenalan yang mutlak. Manusia pada tahap ini masih dikuasai oleh takhayul-takhayul sehingga subjek dengan objek tidak dibedakan.
- Tahap Metafisis, yaitu pemikiran manusia berusaha memahami dan memikirkan kenyataan, tetapi belum mampu membuktikan dengan fakta.
- Tahap Positif, yang ditandai dengan pemikiran manusia untuk menemukan hukum- hukum dan saling hubungan lewat fakta. Oleh karena itu, pada tahap ini pengetahuan manusia dapat berkembang dan dibuktikan lewat fakta.
- Skeptisisme
Menyatakan bahwa indra adalah bersifat menipu atau menyesatkan. Namun, pada zaman modern berkembang menjadi skeptisisme medotis (sistematis) yang mensyaratkan adanya bukti sebelum suatu pengalaman diakui benar. Tokoh skeptisisme adalah Rene Descartes (1596-1650).
- Pragmatisme
Aliran ini tidak mempersoalkan tentang hakikat pengetahuan, namun mempertanyakan tentang pengetahuan dengan manfaat atau guna dari pengetahuan tersebut. Dengan kata lain kebenaran pengetahuan hendaklah dikaitkan dengan manfaat dan sebagai sarana bagi suatu perbuatan. Tokoh aliran ini, antara lain C.S Pierce (1839-1914), menyatakan bahwa yang terpenting adalah manfaat apa (pengaruh apa) yang dapat dilakukan suatu pengetahuan dalam suatu rencana. Pengetahuan kita mengenai sesuatu hal tidak lain merupakan gambaran yang kita peroleh mengenai akibat yang dapat kita saksikan. Tokoh lain adalah Willian James (1824-1910) menyatakan bahwa ukuran kebenaran sesuatu hal adalah ditentukan oleh akibat praktisnya.
Kesimpulan
- Pendidikan adalah suatu kegiatan yang sadar akan tujuan. Disini bermakna bahwa adanya pendidikan bermaksud untuk mencapai tujuan, maka dengan ini tujuan menjadi hal penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan dapat membawa anak menuju kepada kedewasaan, dewasa baik dari segi jasmani maupun rohani. Dengan mengetahui makna pendidikan maka makna ontologi dalam pendidikan itu sendiri merupakan analisis tentang objek materi dari ilmu pengetahuan. Berisi mengenai hal-hal yang bersifat empiris serta mempelajari mengenai apa yang ingin diketahui manusia dan objek apa yang diteliti ilmu. Dasar ontologi pendidikan adalah objek materi pendidikan dimana sisi yang mengatur seluruh kegiatan kependidikan. Jadi hubungan ontologi dengan pendidikan menempati posisi landasan yang terdasar dari fondasi ilmu dimana disitulah teletak undang-undang dasarnya dunia ilmu.Epistemologi adalah pengetahuan sistematis yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas, dan kebenaran pengetahuan (ilmiah).
- Epistemologi adalah cara bagaimana mendapatkan pengetahuan, sumber- sumber pengetahuan, ruang lingkup pengetahuan. Manusia dengan latar belakang, kebutuhan-kebutuhan, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti dari manakah saya berasal? Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam? Apa hakikat manusia? Tolak ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia? Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia? Mana pemerintahan yang benar dan adil? Mengapa keadilan itu ialah baik? Pada derajat berapa air mendidih? Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya? Dan pertanyaan-pertanyaan yang lain. Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang akan dihadapinya. Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya.
Daftar pustaka
Filsafat secara bahasa bisa diartikan “pecinta hikmah atau kebijaksanaan” [Nyong Eka Teguh Iman Santosa, Fenomena Pemikiran Islam, (Sidoarjo: UruAnna Books, 2015).
Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia
Jamali Sahrodi, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: arfino raya, 2011)
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Filsafat, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990)
Paul Suparno, Filsafat pendidikan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius 2001)
Rizal Mustansyir, Ilmu Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002)
Rukiyati, Mengenal Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan UNY, 2015)
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu (Bogor: IPB Press, 2016)
Suparlan Suhartono, 2008. Filsafat Pendidikan. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Surajiyo, Ilmu Filsafat (Jakarta: Bumi Aksara 2008)
[1] Jamali Sahrodi, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: arfino raya, 2011), hal. 47
[2] Rukiyati, Mengenal Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan UNY, 2015), hal. 19-20.
[3] Suparlan Suhartono, 2008. Filsafat Pendidikan. Yogjakarta: Ar-Ruzz Media. Hal 91
[4] Filsafat secara bahasa bisa diartikan “pecinta hikmah atau kebijaksanaan” [Nyong Eka Teguh Iman Santosa, Fenomena Pemikiran Islam, (Sidoarjo: UruAnna Books, 2015), hal. 47].
[5] Surajiyo, Ilmu Filsafat,(Jakarta : Bumi Aksara 2008), Hal 53
[6] Rizal Mustansyir, Ilmu Filsafat, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), Hal 50.
[7] Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu (Bogor: IPB Press, 2016), hal. 91.
[8] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Filsafat, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990), Hal 43.
[9] Paul Suparno, Filsafat pendidikan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius 2001), Hal 11.
[10] Hosnan, M. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: Ghalia Indonesia